KOMPAS.com- MEMASUKI hari ke enam, tim Ekspedisi Susur Selatan Jawa 2009 Harian Kompas, Jumat (5/1) kemarin, berada di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Wonogiri. Penyusuran dimulai melalui daerah perbatasan yaitu di Kecamatan Paranggupito, Wonogiri..
Kecamatan ini berada di pegunungan kapur yang tandus di sekitar laut selatan Jawa. Tim menyusuri Dusun Puring di Desa Kerayaan yang selalu dilanda kekeringan. Saat musim penghujan warga dusun ini mengandalkan sumur dan telaga penampungan air. Namun memasuki musim kemarau penampungan kering dan warga terpaksa membeli air bersih untuk kebutuhan keseharian.
"Kalau kemarau kita harus membeli air, satu tangki biasanya Rp 50.000 sampai Rp 100.000 tergantung jarak tempuh," terang Kepala Desa Kerayaan, Waluyo.
Tim juga mendapati warga yang ternyata eksodan atau pengungsi Aceh yang merupakan para transmigran dari dusun setempat. Konflik GAM memaksa mereka mengungsi dan pada tahun 2005 kembali ke dusun mereka yang kering.
"Kita diusir dari Aceh, dan apa boleh buat kembali ke kampung halaman ini (Puring). Saya dan suami serta tiga anak tidak punya apa-apa saat pulang," ungkap Tukiyem (80) kepada Kompas.com yang menemui mereka di rumahnya.
Dia menceritakan, saat kembali ke dusun dia tinggal di kandang kambing. Tidak punya harta atau tanah untuk tinggal. Beruntung salah seorang saudara memberi tanah dan membangun rumah sangat sederhana untuk Tukiyem dan keluarga.
Dia harus memulai dari nol untuk menopang hidup di tanah kelahiran di selatan Jawa yang kering. Rumah sederhana dengan dinding bambu dan lantai tanah, didiami dengan mencukupi kebutuhan makan dari hasil kebun seperti singkong dan jagung.
Menurut Kepala Desa Kedayaan, Sriyanto, di Dusun Puring terdapat 10 orang eksodan Aceh. Mereka semua asli warga dusun.
Budaya agraris
Meskipun dusun berada di kawasan pinggir selatan Jawa yang memiliki kekayaan laut terhampar di Samudera Hindia, tidak ada budaya melaut. Kalau pun ada, segelintir budaya tersebut dibawa oleh orang luar seperti dari Madura dan Banyuwangi.
Kondisi tersebut tidak lepas dari budaya agraris yang telah melekat erat sejak lama dan tidak lepas dari mitologi laut selatan. "Warga di sini masih erat dengan kepercayaan keberadaan Nyi Roro Kidul. Banyak yang lelaku (ritual) di laut," terang Sriyanto.
Memang, selain ombak laut selatan yang ganas dan ditakuti oleh warga, mereka juga dihadapkan pada mitologi tersebut. Sehingga, warga hanya mengandalkan hasil kebun di tanah yang tandus, yaitu singkong, jagung, kacang tanah dan kelapa.
Padahal, potensi perikanan dan kelautan sangat melimpah ruah, apalagi kelak didukung dengan pembangunan jalur lintas selatan Jawa.
KOMPAS.com Fikria Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar