Powered By Blogger

Senin, 19 April 2010

Gus Dur di Mata Seniman dan Budayawan


Jumat, 1 Januari 2010 | 19:53 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - Seniman dan budayawan pun merasa kehilangan dengan wafatnya KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, sang Presiden RI ke-4 pada Rabu (30/12) malam lalu.

Pasalnya, ketokohan Gus Dur sebagai anak bangsa mampu memberikan pencerahan dalam pelbagai perspektif kehidupan, termasuk kebudayaan. Realitas itulah yang membuat seniman dan budayawan amat terkesan dengan eksitensial sang guru bangsa tersebut.

"Saya kali pertama bertemu Gus Dur saat dia menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1980-an. Waktu itu dalam perhelatan pembacaan puisi bertajuk Perlawanan Afganistan melawan Soviet, Gus Dur dalam pidatonya yang provokatif mengisahkan tentang keindahan patung-patung kuda maha karya seniman Afganistan yang dihancurkan oleh Taliban. Padahal, patung-patung itu sangat monumental dan menjadi keindahan Afganistan," kata Akhudiat, budayawan arek Suroboyo kepada Kompas.

Gur Dur di mata Cak Diat, sapaan Akhudiat, adalah sosok yang mencari sudut pandang lain yang tidak umum alias kontroversial, misalnya, dalam memahami ungkapan salam Assalamamualaikum dalam perspektif kebudayaan yang tidak berbeda dengan selamat pagi atau good morning.

"Gus Dur sangat mengusai betul sosiologi budaya. Semua hal bisa dilihat dari sudut pandang yang lain. Saking kreatifnya pandangannya tidak umum, namun ada kebenaran dari sudut pandang yang lain," katanya.

Dikatakan, semasa Orde Baru (Rezim Soeharto-red), kebenaran monopoli penguasa. Ada pun Gus Dur menjungkirbalikkannya dengan pandangan, bahwa kebenaran tidak bisa dimonopoli, karena ada keberanaran yang lain. Gus Dur memperbaharui cara berpikir pada umumnya dengan cara berpikir yang lain, karena kebenaran multak milik Tuhan. "Gus Dur mendorong kita berpikir kreatif dan tidak mengulang-ulang. Berpikir kreatif jangan sampai macet," kata Cak Diat.

Akhudiat menyatakan, bahwa kita senang memamahbiak dan itu pekerjaan sapi, bukan manusia. Kita harus menghindari berpikir mamahbiak., akan tetapi rupanya kita senang berpikir memamahbiak.

"Saya kira generasi penerus pemikiran Gus Dur ada pada Ulil Absar Abdallah (salah seorang generasi muda NU-red), walaupun dalam bentuk pikiran yang lain," katanya.

Cak Diat berkisah, setiap kali seorang tokoh meninggal dunia, saat itupula dirinya seolah dibisiki oleh almarhum . Mbah Surip meningggal dunia, dia ngomong ojo ngoyoh. Rendra meninggal dunia, dia ngomong tidak ada ratu adil, yang ada keadilan hukum. Gobloh meninggal dunia, dia ngomong harus disiplin, jangan seperti tidak disiplin seperti saya. Frans Seda meninggal dunia, dia ngomong jangan korupsi.

"Bambang Sujiyono meninggal dunia, dia ngomong lawanlah segala macam belenggu. RM Yunani meninggal dunia, dia ngomong, urip sak madio saja," ujar Cak Diat yang diiringi tawa renyah.

Ketua Aliansi Seni Surabaya Solichin Jabbar secara terpisah mengatakan, pikiran-pikiran Gus Dur sebagai negarawan telah memengubah dan menempatkan demokrasi yang berorientasi kepada kemanusiaan, bukan kepada kepentingan politik.

"Sikapnya sebagai sosok budayawan bisa menangkap perkembangan perilaku pemimpin yang menara gading, tapi menjadi mercusuar yang memberikan cahaya terang kepada peradaban budaya, karena pemimpin kita t idak paham budaya politik," katanya.

Pemimpin Komunitas Ludruk Irama Budaya Mojokerto Eko Edi Karya Susanto mengatakan, seniman tradisi amat kehilangan dengan meninggalnya Gus Dur sebagai kyai sekaligus budayawan. "Sebagai seniman tradisi saya sangat kagum dengan keterbukaan Gus Dur yang ceplas-ceplos, apik-elek dilontarkan," katanya.

Edi Karya mengaku terkesan dengan ketokohan Gus Dur sebagai bapak bangsa (Presiden-red) yang tidak membedakan kelas penguasa dengan wong cilik. "Saya menangkap kesan dari G us Dur untuk tidak ada perbedaan antara para penguasa dengan wong cilik," ujarnya.

1 komentar: