Bag. 2
MANUSIA DAN KEADILAN
Kriteria keadilan sangat beragam.
Tidak ada satu pun kriteria baku yang sifatnya universal yang dapat menjelaskan konsep keadilan. Bagi kaum Sophis yang oportunis keadilan sangat subjektif. Bagi Socrates, Plato, dan Aristoteles keadilan mengacu kepada kepentingan orang banyak. Sedangkan bagi Aquinas yang berpandangan finalistik, keadilan adalah pemberian hak kepada setiap orang sesuai dengan kewajibannya.
Akan halnya Machiavelli yang berpandangan naturalistik, maka keadilan akan terwujud apabila keinginan-keinginan pribadi juga terwujud dan untuk mewujudkannya diperlukan kekuasaan karena dengan kekuasaan, ambisi pribadi akan tercapai.
Sedangkan bagi Hobes yang materialistis, yang mengukur segala sesuatu dengan materi, keadilan akan tercipta apabila ada aturan yang mengatur perilaku manusia karena tanpa aturan yang dibuat manusia akan saling membinasakan.
Dari pandangan di atas, ada benang merah yang dapat ditarik bahwa pada hakikatnya keadilan selalu mengacu kepada (adanya keseimbangan antara) hak dan kewajiban.
Meskipun tidak secara gamblang dinyatakan mengenai kewajiban-kewajiban itu tetapi apabila berbicara mengenai hak, maka secara implisit tersirat adanya kewajiban meskipun hak dan kewajiban itu sendiri juga sangat subjektif sifatnya.
MANUSIA DAN HARAPAN
Ada hubungan antara keadilan dan harapan yaitu bahwa keadilan memberikan harapan, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hidup sehari-hari.
Lalu bagaimana harapan dapat diwujudkan? Hal ini perlu konsensus dan komitmen dari semua orang.
Harapan adalah keinginan dalam mewujudkan cita-cita kita.
Keinginan untuk memenuhi semua kebutuhan manusia yang monopluralis dan kebutuhan itu tertuang dalam moralitas Pancasila (lihat P4).
Jadi sesungguhnya, Pancasila adalah harapan (bangsa Indonesia) untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Untuk mewujudkan harapan ini, peran pemimpin sangat penting.
Pemimpin harus menjadi patron, menjadi teladan, menjadi contoh rakyatnya.
Karena semua tindakannya itu menjadi sorotan rakyat, maka segala perilaku dan tindakannya itu harus dilandasi dengan nilai-nilai moral, dalam hal ini moralitas Pancasila.
Tujuan dari upaya-upaya dalam mewujudkan harapan seluruh rakyat bangsa Indonesia sesungguhnya adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PANDANGAN HIDUP
Kesadaran pada hakikatnya akan selalu melibatkan akal manusia.
Dengan kesadaran, manusia dapat memahami semua perilaku dan tindakannya.
Hanya saja untuk selalu bertindak dan berperilaku baik, manusia harus memiliki tidak saja kesadaran semata tetapi lebih dari itu adalah kesadaran moral.
Atas dasar kesadaran moral itulah manusia dapat memilih tindakan yang baik atau buruk.
Dengan kesadaran moral ini manusia akan merasa wajib untuk berbuat baik tanpa paksaan dan tekanan dari pihak mana pun juga.
Semua didasarkan atas keputusan hati nuraninya sendiri.
Di sini, perbuatan baik manusia itu bersifat ‘imperatif kategoris’.
Manusia berbuat baik karena memang sudah seharusnya ia berbuat baik dan apabila ia tidak berbuat baik itu merupakan suatu pelanggaran moral.
Unsur-unsur kesadaran moral (moral conscience) itu ada tiga, yaitu 1) kewajiban, 2) rasional, dan 3) kebebasan.
Kesadaran moral memang hanya dimiliki oleh manusia yang berakal, mempunyai perasaan, dan memiliki kehendak yang bebas (otonomi) untuk selalu mewujudkan perbuatan baik semata.
Sedangkan moralitas seseorang itu dapat digolongkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu 1) Instinctive morality level pada level ini moralitas seseorang berada pada tingkatan terendah yang sifatnya naluriah/hewani, 2) Customary morality level, di sini, moralitas seseorang didasarkan kepada adat kebiasaan atau adat istiadat suatu masyarakat, dan 3) Conscience morality level, ini adalah kesadaran moral yang dalam realisasinya selalu bergerak di atas kaidah-kaidah moral.
Bahwa manusia berbuat baik itu karena memang sudah merupakan kewajiban dan apabila tidak, maka ia telah melanggar norma-norma moral yang berlaku.
Kebajikan artinya kebaikan.
Berbuat kebajikan artinya berbuat kebaikan.
Manifestasi dari perbuatan baik adalah melakukan perbuatan-perbuatan baik yang dilandasi dengan kesadaran moral.
Dengan demikian kita akan selalu merasa wajib melakukan perbuatan baik.
Apabila kita tidak melakukan perbuatan baik maka kita merasa bahwa itu merupakan suatu kesalahan.
Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan itu tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang ada dan berlaku (norma moral, norma hukum, dan norma agama).
Hakikat kodrat manusia itu adalah 1) sebagai individu yang berdiri sendiri (yang memiliki cipta, rasa, dan karsa), 2) sebagai makhluk sosial yang terikat kepada lingkungannya (lingkungan sosial dan alam lingkungannya), dan 3) sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Perbuatan-perbuatan baik manusia haruslah sejalan, sesuai dengan hakikat kodratnya itu.
Norma-norma yang dihadapi manusia itu ada yang bercorak moral yaitu kewajiban moral, dan nilai moral (deontic judgements, dan areatic judgements), dan ada yang bercorak bukan moral (nilai yang nonmoral) yang sifatnya teknis belaka dan tidak mengandung pertimbangan-pertimbangan penilaian.
Norma-norma moral juga ada yang bersifat evaluatif, artinya norma-norma itu berlaku dan dianggap baik bagi komunitas tertentu pada waktu tertentu, tetapi pada suatu saat dapat saja berubah, tidak lagi dapat diberlakukan karena mungkin sudah dianggap tidak baik lagi, atau norma-norma itu dapat berlaku baik bagi komunitas tertentu, tetapi belum tentu baik bagi komunitas lain.
Sebagai catatan, selain kebaikan yang sejati ternyata ada juga kebaikan semu.
Kebaikan semu ini suatu perbuatan baik yang dilakukan seseorang tetapi untuk memperoleh imbalan, baik imbalan yang berupa materi maupun yang nonmateri.
Pada hakikatnya, pengabdian adalah perwujudan dari rasa dan sikap setia untuk melayani dengan penuh hormat, percaya, tulus, dan ikhlas.
Pengabdian mencakup beberapa hal, antara lain 1) pengabdian kepada kebaikan (itu sendiri), 2) pengabdian kepada keluarga, 3) pengabdian kepada masyarakat, 4) pengabdian kepada negara dan bangsa, 5) pengabdian kepada Tuhan atau agama.
Ungkapan “Manunggaling kawula Gusti” sesungguhnya mengandung beberapa makna yang sesuai dengan makna pengabdian, antara lain kesesuaian antara sifat-sifat (baik) Tuhan dengan perilaku dan tindakan manusia perilaku dan tindakan manusia sesuai dengan sifat-sifat baik Tuhan.
Ungkapan itu juga mengandung makna bahwa manusia haruslah memelihara alam tempat mereka tinggal
SIKAP HIDUP
Cita-cita dan pengorbanan bagaikan mata uang dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan.
Cita-cita dan pengorbanan meliputi beberapa hal, antara lain (a) cita-cita (dan pengorbanan) atas (egoisme) diri, (b) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap keluarga, (c) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta (d) cita-cita (dan pengorbanan) terhadap agama (Tuhan).
Ungkapan ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ selain menggambarkan sikap pantang putus asa dalam berusaha, dalam mengejar cita-cita, hal itu juga meggambarkan keikhlasan kita dalam memperoleh imbalan atau reward sesuai dengan usaha yang kita kerjakan.
Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya.
Berbicara hak, berarti berbicara mengenai kewajiban, dan sebaliknya.
Di dalam hak terkandung kewajiban.
Sebaliknya, di dalam kewajiban terkandung pula hak, dan inilah yang dinamakan keadilan.
Keadilan yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban secara seimbang dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang dengan kesadaran moral yang tinggi akan melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu daripada menuntut haknya.
Menurut von Magnis, kewajiban merupakan perasaan wajib untuk melaksanakan tindakan bermoral.
Ini sesuai dengan pendapat Kant yang menyatakan bahwa kewajiban itu bersifat imperatif kategoris.
Kewajiban bersifat objektif universal, artinya berlaku tetap dan bagi siapa saja serta tidak terikat ruang dan waktu.
Selain itu,kewajiban bersifat rasional atau masuk akal.
Dalam kerangka hak dan kewajiban, manusia diberi otoritas penuh untuk memilih dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya.
Tetapi harus diingat bahwa setiap pilihannya akan dikenai penilaian moral yang konsekuensinya akan terkena sanksi moral, hukum (positif), dan agama (hukum Tuhan).
Sesuai dengan sifat kodratnya sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial, manusia diberi otoritas untuk menentukan pilihan.
Kebebasan dan tanggung jawab adalah salah satu ‘alat uji’ dari kewenangan dalam memilih yang dimiliki manusia.
Pada akhirnya, kebebasan selalu diikuti oleh tanggung jawab sebagai konsekuensi moral yang harus ditanggung.
Manusia memang bebas untuk memilih, hanya saja pilihan itu tetap di dalam kerangka etik (etika pribadi, etika sosial, dan etika theistic) yang ada dan berlaku.
Sumber Buku Ilmu Budaya Dasar Karya Yulia Budiwati dkk